Sabtu, 01 September 2018

JADILAH GELAS YG KOSONG

Jika engkau bertanya tentang Al-Qur'an kpd iblis, maka iblis akan bisa menerangkan dg sangat jelas, karena iblis tau persis kapan ayat itu turun dari langit...

Jika engkau bertanya tentang ilmu hadist kpd iblis, maka iblis akan sangat pandai menjelaskannya,
karena iblis tau asbabul wurud dari hadist tsb....

Jika engkau bertanya tentang kisah para nabi, iblis akan dg tepat menceritakannya karena iblis sudah ada sejak nabi adam masih berada dalam surga...

iblis ahli alqur'an...
iblis ahli hadist....
iblis ahli riwayat..
iblis alim/pandai dalam segala ilmu...

Tapi iblis tdk menjadi kekasih Allah, karena dalam diri iblis ada kalimat...

AKU LEBIH BAIK DARI KAMU

Semoga sedikit ilmu yg dititipkan Allah Subhana Wa Ta'alla dihati kita tdk menjadikan kita sombong dalam segala urusan...
Juga paham bahwa ilmu tak menjamin orang pasti ta'at dan sholeh.

Yang aku takut...hatiku kian mengeras dan sulit menerima nasehat, namun
sangat pandai menasehati
Yang aku takut...aku merasa paling benar, sehingga merendahkan yang lain.

Yang aku takut...egoku terlalu tinggi, hingga
merasa paling baik di antara yang lain.

Yang aku takut...aku lupa bercermin, namun
sibuk berprasangka buruk kepada yang lain.

Yang aku takut...ilmuku akan membuatku
menjadi sombong,memandang yang lain berbeda denganku.

Yang aku takut...lidahku makin lincah membicarakan aib orang lain, namun lupa dengan aibku yang menggunung dan tak sanggup kubenahi.

Yang aku takut...aku hanya hebat dalam berkata namun buruk dalam berbuat.

Yang aku takut...aku hanya cerdas dalam mengkritik, namun lemah dalam mengkoreksi diri sendiri.

Yang aku takut...aku membenci dosa orang lain, namun saat aku sendiri buat dosa aku enggan membencinya.

Kiranya Allah Subhana Wa Ta'alla
senantiasa menyadarkanku sehingga lebih rajin instrospeksi diri daripada mengurusi orang lain yang belum tentu perilaku dan tutur katanya lebih baik dari diriku. Aamiin...

SELALULAH MELIHAT KE DALAM HATI.

Bila diibaratkan otak kita gelas maka jadilah gelas yang kosong, brrti gelas tersebut siap untuk diisi. Tp bila diibaratkan gelas yang sudah penuh, berrti sekecil apapun ilmu yang sedang kita pelajari maka tidak akan bisa masuk ke dalam gelas, yang ada hanya akan luber dan terbuang sia-sia.

Artinya kosongkanlah otakmu terlebih  dahulu sebelum menuntut ilmu, karna terkadang apa yang kita pelajari adalah sudah kita ketahui.

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Minggu, 26 Agustus 2018

BAHAYA ANGIN DUDUK

# A N G I N  D U D U K.

Pada suatu ketika dimana "Nabi Allah Sulaiman a.s" duduk di Singgasana,
maka datang 'satu Angin' yang cukup besar, maka bertanya "Nabi Allah Sulaiman" : "Siapakah engkau. . . ??

Maka dijawab oleh Angin tersebut : "Akulah 'Angin Rihul Ahmar' dan Aku bila memasuki Rongga Anak Adam, maka Lumpuh, keluar Darah dari Rongga Hidung dan apabila aku memasuki Otak Anak Adam, maka menjadi Gilalah Anak Adam. . ."

Maka diperintahkan oleh "Nabi Sulaiman a.s", supaya membakar Angin tersebut, maka berkatalah, 'Rihul Ahmar' kepada "Nabi Sulaiman a.s" bahwa :
"Aku Kekal sampai hari Kiamat tiba, tiada Sesiapa yang dapat membinasakan Aku melainkan Allah SW T."

Lalu 'Rihul Ahmar' pun menghilang.

Diriwayatkan bahwa : Cucu "Nabi Muhammad SAW", terkena *'Rihul Ahmar'*sehingga keluar Darah dari Rongga Hidungnya.

Maka datang Malaikat Jibril kepada "Nabi SAW" dan bertanyalah "Nabi" kepada Jibril.

Maka menghilang sebentar, lalu Malaikat Jibril kembali mengajari akan 'Do'a Rihul Ahmar' kepada "Nabi SAW", kemudian
dibaca 'Do'a' tersebut kepada Cucunya dan dengan sekejap Cucu Rasulullah sembuh dengan serta merta.

Lalu "Nabi SAW" bersabda :
"Bahwa barangsiapa membaca 'Do'a Stroke / Do'a Rihul Ahmar', walaupun sekali dalam seumur hidupnya, maka akan dijauhkan dari Penyakit 'ANGIN AHMAR atau STROKE'."

Do'a agar dijauhkan/terhindar dari 'Angin Ahmar dan Penyakit Kronis', sbb. :

اللهم إني أعوذبك من الريح الأحمر والدم الأسود والداء الأكبر

"Allohumma innii a'uudzubika minar riihil ahmar, wad damil aswad, wad daail Akbar."

Artinya :

"Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari Angin Merah dan dari Darah Hitam (stroke) dan dari Penyakit Berat."

'Riihul Ahmar' biasa masuk pada saat seseorang Tidur Bakda Ashar hingga waktu Isya'.

Maka hindarilah tidur diwaktu itu Sekantuk / Secapek apapun. . . silahkan dirasakan sendiri perbedaan tidur tengah hari (siang), Bakda Ashar & malam hari pada saat bangun dari tidur waktu² tsb.

Teruskanlah informasi ini ke Group Keluarga, Sahabat kita yang kita sayang, agar kita semua  terhindar dari 'STROKE'.
Insya' Allah. . .

Semoga kita senantiasa dalam Balutan Sehat Wal A'fiat. . . !!!

Aamiin Yaa Rabbal'alamiin.

Rabu, 22 Agustus 2018

MAKNA DARI IBADAH KURBAN, DAN CARA MEMAKNAINYA


اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانِ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Hallo gmn kabarnya para sahabat daarulibtidaku? Mudah mudahan dalam kondisi sehat wal'afiat.amien....
Kalau mimin kebetulan sedang dalam keadaan kekenyangan makan daging kurban. Hehehe........
Soalnya kebetulan tadi di Ponpes Daarul Ibtida  telah mengadakan pemotongan hewan kurban. Jadi tahun ini Alhamdulillah ada yang berkurban 4 ekor kambing, 1 ekor kambing dari keluarga guru kami yaitu Ust. Jamal, 1 ekor dari salah satu pengajar Daarul Ibtida, 1 ekor dari pabrik otak otak di depan pondok kami, dan 1 lagi dari salah satu warga di lingkungan pondok kami.



      Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita peringati tiap tahun tak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil. Diceritakan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya". (Al-Hajj: 37)     
       Kendati sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail (‘alaihissalâm). Seorang anak yang ia idam-idamkan bertahun-tahun karena istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat ash-Shaffat dijelaskan bahwa semula Nabi Ibrahim berdoa: 
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ.
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”

      Allah lalu memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat cerdas dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak itu menginjak dewasa, Nabi Ibrahim diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."
      Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih.
Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya:
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ. سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”


      Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah bentuk i’tibar atau pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.
      Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak—betapapun mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.
      Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri. 
      Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.


      Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia—sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu—adalah hal yang diharamkan.
      Manusia dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya.


      Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya. 
      Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan, bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, untuk mengantre dalam sebuah loket pejualan tiket, bersedia menghentikan sejenak kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah solidaritas sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah. Wallahu a’lam.




      Demikianlah artikel ini semoga bisa bermanfaat.
Wassalamu'alaikim Warohmatullohi Wabarokatuh

Senin, 20 Agustus 2018

CALON SARJANA BERTEMU CALON SARNAJA

      Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh..... teman-teman daarul ibtidaku, semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah SWT. Amien.
Oiya mimin mau sedikit cerita nih, boleh ya? Hehe...
      Jadi begini teman-teman, beberapa hari yang lalu, kami kedatangan tamu dari mahasiswa UIN Maulana Hasanudin Serang. Kedatangan para mahasiswa tersebut adalah dalam rangka kegiatan mengenai riset dan observasi sosial kemasyarakat, yang ditugaskan oleh salah satu UKM kampus tersebut. Kalo tidak salah namanya UKM Prima (Kelompok Riset Mahasiswa), kalo tidak benar berarti salah,hehehe....
Foto bersama pimpinan,pengajar dan para santri Daarul Ibtida
    
Sesi perkenalan dengan para santri 

  Kegiatan mereka lebih bersifat ke arah observasi tentang kearifan budaya lokal dan sis- sisi lain tentang kehidupan bermasyarakat di tempat yg disinggahi.
Dan kebetulan kamipun berkesempatan dikunjungi oleh para mahasiswa tersebut, pada waktu itu ada 4 orang mahasiswa yg berkunjung ke pondok kami untuk bersilaturahmi. Dan keesokan harinya kami mempersilahkan para mahasiswa tersebut untuk berbaur dengan kegiatan sehari-hari di pondok, salah satunya mengajar dikelas TPQ. 
Berbagi ilmu dengan para santri TPQ

Salah satu mahasiswa sedang memberikan materi 

Santri TPQ sedang antusias mengikuti pelajaran dari mahasiswa 
Para santri sangat antusias belajar dengan mereka, dan mungkin juga sebagai pelepas jenuh.
      Selama satu minggu para mahasiswa tersebut berbaur dengan kami dalam nuansa keakraban yang begitu cair.
Bercengkrama dengan pimpinan Ponpes Daarul Ibtida 

Selain itu kami pun saling bertukar cerita satu sama lain tentang aktivitas kami masing-masing.
Namun sayangnya waktu tidak pernah ada yang abadi, kami pun harus berpisah kembali karena mereka hanya diberi waktu 2 minggu saja oleh pihak kampusnya.
      Namun sebelum perpisahan Alhamdulillah kami bisa berkesempatan untuk makan bersama-sama dalam satu riungan yang khas ala anak kobong salafi yaitu ngaliwet, dengan hanya beralaskan daun pisang dan menu tradisional ikan sambal alakadarnya.
Foto saat makan bersama para santri

Kami berbaur menikmati hidangan nasi liwet dengan cita rasa persaudaraan tinggi.

      Mungkin cerita singkat ini hanya hal yang biasa dan tidak cukup penting dikenang, namun bagi mimin ini bisa menjadi motivasi para santri di pondok Daarul Ibtida agar terus bisa giat menimba ilmu hingga ke jenjang yg lebih tinggi, seperti halnya mahasiswa tadi. Tapi bagi yang belum beruntung ataupun tidak mampu, bisa juga menumbuhkan lebih semangat lagi mengaji di pondok, karena keilmuan bukan hanya diukur dari jenjang pendidikan formal, bila para mahasiswa bisa menjadi SARJANA maka para santri pun bisa menjadi SARNAJA. Hehe...
Sampai jumpa kembali di lain waktu, dan semoga apapun ilmu yg sedang kita pelajari bisa bermanfaat untuk sesama di masa yang akan datang. Wassalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Sabtu, 18 Agustus 2018

KARAKTER PEMIMPIN MUSLIM IDEAL

RAJA yang memerintah rakyat dengan adil sama dengan orang yang pergi haji ke Makkah sebanyak enam puluh kali. Raja yang adil juga akan beroleh ganjaran dari Tuhan sebesar orang yang salat seribu kali.

Begitulah Kitab Taj us-Salatin mengiming-imingi para sultan di masa lalu agar menjadi pemimpin yang baik. Dari 24 bab, sembilan bab berisi pedoman menjadi raja.

Sejarawan Danys Lombard menjelaskan Taj us-Salatin berarti Mahkota Raja-Raja. Penulisnya menyebut diri Bokhari ul-Jauhari. Namanya bisa diterjemahkan menjadi "Bokhari si pandai emas" atau "Bokhari yang berasal dari Johor."

“Dibuat pada 1012 H (1603/4 M), Taj al-Salatin merupakan sebuah persembahan bagi raja Sultan Alaudin Riayat Syah,” tulis Lombard dalam Kerajaan Aceh.

Kitab itu memandang kekuasaan politik merupakan bagian tak terlepasakan dari agama. Terutama berkaitan dengan tugas pemimpin sebagai pengatur masyarakat. Bahkan disejajarkan dengan tugas kenabian, yaitu membimbing manusia ke jalan yang benar. Syaratnya sungguh tak mudah.  

"Kedua tugas ini harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan sebagai 'dua permata dalam satu cincin'," kata Jajat Burhanudin, dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menerangkan bahwa Taj us-Salatin memuat kriteria para raja. Mereka harus memiliki kualifikasi untuk menjalankan tugas-tugas politik maupun tugas kenabian.

Adil dan Ihsan

Yang termasuk dalam kualifikasi itu kalau sang raja mampu bersikap adil. Dijelaskan dalam kitab itu, adil berasal dari bahasa Arab, adl yang bermakna jujur. Ini merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama, di mana kebenaran muncul, baik dalam ucapan maupun tindakan raja.

Sifat itu kemudian harus datang bersama ihsan (kebaikan). “Adil didefinisikan sebagai hal terbaik bagi para raja, sehingga raja yang tidak memiliki kedua kondisi ini (adil dan ihsan) tidak dapat diakui sebagai raja yang sejati,” jelas Jajat.

Taj us-Salatin kemudian juga mengklasifikasi konsep adil ke dalam beberapa kualitas yang harus dimiliki raja. Raja adil, kata teks itu, adalah yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama. Ia juga harus memperhatikan kondisi sosial rakyatnya. Pun senantiasa menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan.

Raja adil juga harus melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan. Ia pun dituntut untuk mirip seperti para nabi dan wali dalam tugasnya.

“Raja juga harus mengetahui rakyatnya berdasarkan rasio (akal budi), sehingga mampu membedakan antara baik dan buruk, antara kebahagiaan dan bahaya, dan antara adil dan yang tidak adil," lanjutnya.

Ditekankan pula dalam karya itu, raja setidaknya mengetahui ilmu kirafat dan firasat. Dengan ilmu itu, raja akan mampu memahami secara tepat karakter dasar manusia. Khususnya bagi orang-orang yang bakal diangkat sebagai pejabat resmi istana.

Menurut Jajat begitu pentingnya konsep adil tidak hanya menjadi rumusan raja ideal. Konsep adil juga menunjukkan keberadaan kerajaan dan sumber stabilitas sosial kerajaan.

Adil diletakkan dalam arah yang berlawanan dengan zalim atau situasi tirani,” jelasnya.

Maksudnya, jika konsep adil dijadikan sebagai kriteria raja yang ideal, zalim merupakan kriteria bagi raja yang tak adil. Adapun konsep adil merupakan jaminan bagi keberadaan kerajaan yang stabil. Sementara zalim menjadi faktor utama bagi kekacauan dan kehancuran.

Witjaksana

Meski dikaitkan dengan istilah Arab, kata Jajat, konsep ini sesuai dengan budaya politik Nusantara. Meski dengan istilah berbeda, spirit adil dapat ditemukan dalam tradisi Jawa: witjaksana atau kawitjaksanaan.

“Seperti adil, pengertian witjaksana juga menunjukkan kesempurnaan dalam diri seorang raja yang memerintah kerajaan,” katanya.

Konsep witjaksana telah mapan di Nusantara pada abad ke-17 dan 18. Ia didefiniskan sebagai suatu kapasitas yang sangat dihormati dan langka. Itu tak hanya menganugerahi pemiliknya dengan tingkat pengetahuan yang sangat luas. Namun, juga kesadaran yang mendalam terhadap realitas dan kepekaan terhadap keadilan.

Seperti juga adil, witjaksana adalah konsep politik Jawa untuk menunjukkan raja ideal yang memiliki kemampuan menimbang untung-rugi dalam suatu keputusan yang rumit. Bukan cuma itu, konsep ini juga berarti kepekaan yang tajam dalam membuat keputusan untuk mengendalikan situasi, khususnya dalam menjaga tata-kosmik.  

Taj us-Salatin juga menjadikan ajaran sufi untuk merumuskan nasihat moral bagi para raja. Teks itu meminta raja dan para pejabatnya agar selalu mengingat kiamat kehidupan di mana martabat dan kemakmuran yang mereka miliki akan lenyap.

Lombard menduga karya itu kemungkinan besar sangat terkenal di Nusantara. Naskahnya ditemukan dalam jumlah besar. Apalagi pada abad 19 adaptasi naskahnya dibaca pula di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. 

Tak hanya itu, pada masa Thomas Stamford Raffles menduduki Singapura, sultan di sana memerintah dengan mengacu pada Taj us-Salatin. 

Sekretaris Raffles, Abdullah Munsyi, juga menggunakannya ketika akan mengetahui watak sang letnan gubernur Inggris itu. Munsyi melakukannya dengan berpanduan pada asas ilmu firasat yang ditemukannya di Taj us-Salatin.

"Taj us-Salatin adalah suatu teks tentang cermin bagi para raja di Nusantara. Rumusan nasihat moral bagi sikap politik raja menjadi substansi utama teks itu,” ujar Jajat.

SUMBER: historia.id

Rabu, 15 Agustus 2018

KAMI SANTRI KAMI INDONESIA

     Assalamu'alaikum, hallo...... jumpa lagi di website Daarulibtidaku, tempatnya sharing para santri ponpes daarul ibtida.
Assalamu'alaikum, hallo...... jumpa lagi di website Daarulibtidaku, tempatnya sharing para santri ponpes daarul ibtida.
Sebelum mimin lanjutkan artikel ini, mimin mau sedikit curhat tentang nasionalisme santri. Hehe.. 

Jadi begini, terkadang perkembangan jaman dapat membuat kita menjadi orang yg berfikiran sempit dan terkotak-kotak. Seperti contoh;  banyak yg menafsirkan santri itu kolot dan hanya bisa tahlilan saja, padahal sejarah Indonesia membuktikan bahwa ulama pun ikut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan yang lainnya. Lalu apa kaitannya dengan santri? Jelas sangat erat kaitannya karena santri adalah penerus ulama, jadi jangan bilang santri tidak punya rasa nasionalisme. 
Udah ya curhatnya!!! takut mimin tambah baper.haha.. .

      Nah.... dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaan negara kita tercinta ini, Ponpes Daarul Ibtida juga telah mengadakan beberapa kegiatan lomba baik yang bersifat edukatif yg bertujuan meningkatkan kemampuan santri, maupun yang bersifat hiburan untuk mengasah ketangkasan.

Berikut ini beberapa moment yg berhasil mimin kumpulkan 

Lomba Murotal Alqur'an


Kemeriahan acara lomba 


Jumat, 10 Agustus 2018

KISAH PANGERAN DIPONEGORO DAN PENDAMPING MISTIKNYA


SOSOKNYA agak samar tersaput tinta merah dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje, yang tersimpan di Universitas Leiden dengan codex 7398. Lukisan itu menggambarkan aktivitas Diponegoro beserta keluarganya di dalam benteng di Makassar (1833-1855). Dia sosok yang berdiri dekat Diponegoro, membantunya mengajarkan teks mistik Islam kepada putranya, Pangeran Ali Basah. Sosok yang tampil dengan figur berbeda: cebol, buncit, dan tak berbusana, itu adalah Banthengwareng. Banthengwareng (1810-1858) adalah pengiring (panakawan) Diponegoro yang paling setia. Dalam Babad Diponegoro (Manado) pada XXXVIII pupuh (mijil) 150, Banthengwareng disebut sebagai lare bajang, anak muda yang nakal dan bertubuh cebol. Menurut sejarawan Peter Carey, Banthengwareng kemungkinan turut dalam rombongan saat Diponegoro mendirikan markas besar pertama pada masa Perang Jawa, di Selarong, pengujung Juli 1825.Dia bergabung dengan pengiring lainnya: Sahiman alias Rujakbeling, Kasimun alias Wangsadikrama, Teplak alias Fikpak atau Rujakgadhung, dan Joyosuroto atau Roto. (Baca: Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro dan riwayat abdi pengiring (palawija) raja Jawa di majalah Historia No. 20 Tahun II 2014). Sebagai pendamping yang paling intim, Banthengwareng bersama panakawan lainnya “memiliki gabungan peran; abdi pengiring, guru, penasihat, peramu obat, pembanyol, dan penafsir mimpi.” Di Selarong, Diponegoro semakin mempertebal mistik dan agamanya dengan berdiam diri di gua.Willem Andrian van Rees (1820-1898), perwira Belanda, melaporkan bahwa Diponegoro kerap ditemani pengikutnya yang paling intim (panakawan). Mereka tinggal di dalam gua, Guwo Secang, yang memiliki dapur. Para pengiring bertugas menyiapkan makan dan menemaninya selama puasa. Peran Banthengwareng sebagai pengiring yang setia mulai kentara, saat dirinya bersama Roto mendampingi Diponegoro, setelah lolos dari sergapan pasukan gerak cepat ke-11 di bawah komando A.V. Michiels, di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, pada 11 November 1829.Diponegoro memutuskan berkelana masuk ke hutan-hutan wilayah barat Bagelen dengan hanya ditemani Banthengwareng dan Roto.
Keadaan yang serba sulit itu dilukiskan dengan rinci oleh sejarawan militer Belanda, George Nypels dalam De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830, bahwa Diponegoro bersama dua pengiringnya dalam keadaan serba kekurangan. Sering tidak mempunyai tempat berteduh dan tak cukup makanan. Diponegoro menderita luka di kakinya dan “mengidap sakit malaria yang membuat fisiknya sangat lemah,” tulis Nypels. Catatan militer Belanda lainnya, Pieter J.F. Louw dan Eduard Servaas de Klerck dalam De Java-Oorlog van 1825-1830, menyebutkan bahwa Diponegoro berjalan terseret-seret karena kelelahan dan serangan malaria di sepanjang jalan setapak ke gubuk-gubuk petani. Di situ dia bersembunyi selama lebih dari tiga bulan, antara pertengahan November 1829 sampai pertengahan Februari 1830. Mereka menanggung derita itu dengan tabah hingga 9 Februari 1830, saat negosiasi Diponegoro dengan Kolonel Clerens dimulai. Ketika terjadi pertemuan yang berujung penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830, Banthengwareng dan Roto hadir menunggu di halaman rumah residen Kedu. Kedua pengiring itu menemani di tiap jengkal perjalanan pengasingan Diponegoro (28 Maret-12 Juni 1830). Mereka hidup bersama Diponegoro dan keluarganya di tempat pembuangan, sekira tiga tahun di Manado. Pada 1839, Roto, terpaksa berpisah karena bergabung dengan Kiai Mojo ke Tondano, Sulawesi utara. Hanya Banthengwareng yang setia menemani Diponegoro ke Makassar, hingga akhir hayatnya. “Banthengwareng seringkali mengajar anak-anak Diponegoro selama berada di Makassar,” ungkap Peter Carey. Dia begitu dekat dengan Diponegoro bak keluarga sendiri. Banthengwareng memenuhi sumpah setianya hingga mati (teguh pati) untuk mengiringi dan mendampingi Diponegoro. Setelah Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855, dua tahun kemudian Banthengwareng meninggal dan dikebumikan di Kampung Melayu, Makassar, di areal pemakaman Diponegoro. Makamnya berukuran laiknya bayi berumur enam tahun. Pusaranya dibelah dinding pemisah areal pemakaman keluarga Pangeran Diponegoro; setengah makamnya berada di areal pemakaman keluarga, setengah lagi berada di luar areal. ”Ini menandakan bahwa Banthengwareng dianggap sebagai bagian dari keluarga Diponegoro, walaupun dia berasal dari kalangan bawah,” ujar Peter Carey